- Back to Home »
- PENGERTIAN KEKERINGAN DAN LANGKAH-LANGKAH MENGANTISIPASINYA
Posted by : Hanung
Rabu, 16 Juli 2014
Pengertian
& Latar Belakang
Kekeringan adalah merupakan salah satu bencana yang sulit dicegah
dan datang berulang. Secara umum pengertian kekeringan adalah ketersediaan air
yang jauh di bawah dari kebutuhan air untuk kebutuhan hidup, pertanian,
kegiatan ekonomi dan lingkungan. Terjadinya kekeringan di suatu daerah bisa
menjadi kendala dalam peningkatan produksi pangan di daerah tersebut. Di
Indonesia pada setiap musim kemarau hampir selalu terjadi kekeringan pada
tanaman pangan dengan intensitas dan luas daerah yang berbeda tiap tahunnya.
Kekeringan merupakan salah satu fenomena yang terjadi sebagai dampak
penyimpangan iklim global seperti El Nino dan
Osilasi Selatan. Dewasa ini bencana kekeringan semakin sering terjadi bukan
saja pada periode tahun-tahun El Nino, tetapi juga pada periode tahun dalam
keadaan kondisi normal.
Klasifikasi Kekeringan
Pengertian kekeringan dapat diklasifikasikan lebih spesifik sebagai berikut :
a. Kekeringan Meteorologis
Kekeringan ini berkaitan dengan tingkat curah hujan yang terjadi
berada di bawah kondisi normal dalam suatu musim. Perhitungan tingkat
kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama terjadinya kondisi
kekeringan.
Intensitas kekeringan berdasarkan definisi meteorologis sebagai berikut:
Intensitas kekeringan berdasarkan definisi meteorologis sebagai berikut:
·
kering : apabila curah hujan antara 70%-80%, dari kondisi normal (curah
hujan di bawah normal)
·
sangat kering : apabila curah hujan antara 50%-70% dari kondisi
normal (curah hujan jauh di bawah normal)
·
amat sangat kering : apabila curah hujan di bawah 50% dari kondisi
normal (curah hujan amat jauh di bawah normal).
b. Kekeringan Hidrologis
Kekeringan ini berkaitan dengan berkurangnya pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan hidrologis diukur dari ketinggian muka air waduk, danau dan air tanah. Ada jarak waktu antara berkurangnya curah hujan dengan berkurangnya ketinggian muka air sungai, danau dan air tanah, sehingga kekeringan hidrologis bukan merupakan gejala awal terjadinya kekeringan.
Intensitas kekeringan berdasarkan definisi hidrologis adalah sebagai berikut:
Kekeringan ini berkaitan dengan berkurangnya pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan hidrologis diukur dari ketinggian muka air waduk, danau dan air tanah. Ada jarak waktu antara berkurangnya curah hujan dengan berkurangnya ketinggian muka air sungai, danau dan air tanah, sehingga kekeringan hidrologis bukan merupakan gejala awal terjadinya kekeringan.
Intensitas kekeringan berdasarkan definisi hidrologis adalah sebagai berikut:
·
kering: apabila debit sungai mencapai periode ulang aliran di
bawah periode 5 tahunan
·
sangat kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang
aliran jauh di bawah periode 25 tahunan
·
amat sangat kering : apabila debit air sungai mencapai periode
ulang aliran amat jauh di bawah periode 50 tahunan
c. Kekeringan Pertanian
Kekeringan ini berhubungan dengan berkurangnya kandungan air dalam tanah (lengas tanah) sehingga tak mampu lagi memenuhi kebutuhan air bagi tanaman pada suatu periode tertentu. Kekeringan pertanian ini terjadi setelah terjadinya gejala kekeringan meteorologis.
Intensitas kekeringan berdasarkan definisi pertanian adalah sebagai berikut:
Kekeringan ini berhubungan dengan berkurangnya kandungan air dalam tanah (lengas tanah) sehingga tak mampu lagi memenuhi kebutuhan air bagi tanaman pada suatu periode tertentu. Kekeringan pertanian ini terjadi setelah terjadinya gejala kekeringan meteorologis.
Intensitas kekeringan berdasarkan definisi pertanian adalah sebagai berikut:
·
kering : apabila 1/4 daun kering dimulai pada ujung daun (terkena
ringan s/d sedang)
·
sangat kering : apabila 1/4-2/3 daun kering dimulai pada bagian ujung
daun (terkena berat)
·
amat sangat kering: apabila seluruh daun kering (puso)
d. Kekeringan Sosial Ekonomi
Kekeringan ini terjadi berhubungan dengan berkurangnya pasokan komoditi yang bernilai ekonomi dari kebutuhan normal sebagai akibat dari terjadinya kekringan meteorologis, pertanian dan hidrologis.
Intensitas kekeringan sosial ekonomi dapat dilihat dari ketersediaan air minum atau air bersih sebagai berikut:
e. Kekeringan Antropogenik
Kekeringan ini terjadi karena ketidaktaatan pada aturan yang disebabkan: kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang direncanakan sebagai akibat ketidaktaatan pengguna terhadap pola tanam/pola penggunaan air, dan kerusakan kawasan tangkapan air, sumber air sebagai akibat dari perbuatan manusia.
Intensitas kekeringan akibat ulah manusia terjadi apabila:
Kekeringan ini terjadi berhubungan dengan berkurangnya pasokan komoditi yang bernilai ekonomi dari kebutuhan normal sebagai akibat dari terjadinya kekringan meteorologis, pertanian dan hidrologis.
Intensitas kekeringan sosial ekonomi dapat dilihat dari ketersediaan air minum atau air bersih sebagai berikut:
e. Kekeringan Antropogenik
Kekeringan ini terjadi karena ketidaktaatan pada aturan yang disebabkan: kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang direncanakan sebagai akibat ketidaktaatan pengguna terhadap pola tanam/pola penggunaan air, dan kerusakan kawasan tangkapan air, sumber air sebagai akibat dari perbuatan manusia.
Intensitas kekeringan akibat ulah manusia terjadi apabila:
·
Rawan: apabila penutupan tajuk 40%-50%
·
Sangat rawan: apabila penutupan tajuk 20%-40%
·
Amat sangat rawan: apabila penutupan tajuk di DAS di bawah 20%.
Batasan tentang kekeringan bisa bermacam-macam tergantung dari cara
meninjaunya. Ditinjau dari Agroklimatologi yaitu keadaan tanah dimana tanah tak
mampu lagi memenuhi kebutuhan air untuk kehidupan tanaman khususnya tanaman
pangan. Ada tiga faktor yang sangat mempengaruhi kekeringan ini yaitu tanaman,
tanah dan air.
Tanaman khususnya tanaman pangan mempunyai kebutuhan air yang
berbeda-beda, baik keseluruhan maupun jumlah kebutuhan pada setiap tahap
pertumbuhannya. Tanaman padi misalnya, memerlukan cukup banyak air selama
pertumbuhannya. Sedangkan tanaman kedelai termasuk tanaman yang relatif tahan
terhadap kekeringan. Namun demikian kedelai mempunyai periode yang riskan
terhadap kekurangan air yaitu pada periode perkecambahan dan periode
pembentukan biji. Kepekaan tiap tanaman terhadap kekurangan air berbeda dari
satu tanaman ke tanaman lainnya dan dari satu tahapan pertumbuhan tanaman ke
tahap lainnya dalam satu jenis tanaman.
Tanah merupakan faktor yang menentukan pula kemungkinan terjadinya kekeringan. Besar kecilnya kemampuan tanah untuk menyimpan lengas menentukan besar kecilnya kemungkinan terjadinya kekeringan. Perbedaan fisik tanah juga akan menentukan cepat lambatnya atau besar kecilnya kemungkinan tanaman mengalami kekeringan.
Air untuk daerah tadah hujan diperoleh dari air hujan. Ciri atau sifat hujan di suatu daerah menentukan kemungkinan terjadi atau tidaknya kekeringan di daerah itu. Perubahan yang tak beraturan dari waktu ke waktu adalah tantangan yang besar dalam memprakirakan kebutuhan air tanaman. Jumlah hujan yang besar dan terbagi rata tak akan dirasakan sebagai penyebab kekeringan. Apabila curah hujan tak merata dan menyimpang dari kebiasaan itulah yang akan menyebabkan kekeringan.
Selain tiga faktor tersebut, ada beberapa hal lain yang bisa menyebabkan tanaman kekeringan yaitu:
Tanah merupakan faktor yang menentukan pula kemungkinan terjadinya kekeringan. Besar kecilnya kemampuan tanah untuk menyimpan lengas menentukan besar kecilnya kemungkinan terjadinya kekeringan. Perbedaan fisik tanah juga akan menentukan cepat lambatnya atau besar kecilnya kemungkinan tanaman mengalami kekeringan.
Air untuk daerah tadah hujan diperoleh dari air hujan. Ciri atau sifat hujan di suatu daerah menentukan kemungkinan terjadi atau tidaknya kekeringan di daerah itu. Perubahan yang tak beraturan dari waktu ke waktu adalah tantangan yang besar dalam memprakirakan kebutuhan air tanaman. Jumlah hujan yang besar dan terbagi rata tak akan dirasakan sebagai penyebab kekeringan. Apabila curah hujan tak merata dan menyimpang dari kebiasaan itulah yang akan menyebabkan kekeringan.
Selain tiga faktor tersebut, ada beberapa hal lain yang bisa menyebabkan tanaman kekeringan yaitu:
1. Petani
tak memperhatikan pola tanam, artinya petani menanam padi semaunya dan kapan
saja.
2. Terjadinya
perubahan iklim. Misalnya awal musim hujan terjadi lebih lambat atau lebih awal
atau musim kemarau yang terjadi lebih awal, sehingga kebutuhan air untuk
tanaman tak mencukupi.
3. Terjadi
kerusakan jaringan pengairan.
4. Keadaan
ekstrim.
Langkah-Langkah yang Dilakukan untuk Menghadapi Kemungkinan
Kekeringan
A. Penentuan Daerah Rawan Kekeringan
Daerah rawan kekeringan adalah daerah yang pada setiap musim kemarau yang normal selalu berpeluang untuk terjadinya kekurangan air atau kekeringan. Pada umumnya daerah rawan kekeringan adalah daerah dengan tipe iklim kering dan kurang memiliki sarana dan prasarana irigasi.
Daerah rawan kekeringan dapat ditentukan dengan cara:
A. Penentuan Daerah Rawan Kekeringan
Daerah rawan kekeringan adalah daerah yang pada setiap musim kemarau yang normal selalu berpeluang untuk terjadinya kekurangan air atau kekeringan. Pada umumnya daerah rawan kekeringan adalah daerah dengan tipe iklim kering dan kurang memiliki sarana dan prasarana irigasi.
Daerah rawan kekeringan dapat ditentukan dengan cara:
1. Pembuatan
peta kekeringan
2. Penentuan
tipe-tipe iklim di daerah kita
Peta kekeringan dapat diperoleh dari instansi terkait yang
mempunyainya. Mungkin di dinas pertanian setempat, dan lain-lain. Kami di
stasiun Klimatologi Banjarbaru Badan Meteorologi dan Geofisika memberikan
layanan tersebut. Berikut adalah contoh peta potensi kekeringan di Kalimantan
Selatan bulan Mei 2009.
Peta potensi kekeringan/kebakaran hutan 2009 diperuntukkan bulan
Mei sampai dengan Oktober. Sedangkan peta potensi banjir/tanah longsor dibuat
untuk bulan Januari sampai dengan Juni dan Nopember sampai Desember. Untuk
melihat keseluruhan peta dapat dilihat pada blog http://miftahulmunir.wordpress.com.
Dasar pembuatan peta potensi tersebut adalah:
Dasar pembuatan peta potensi tersebut adalah:
1. Rata-rata
curah hujan sepanjang pengamatan (minimal 5 tahun).
2. Curah
hujan rendah (di bawah 100 mm/bulan) berpotensi terjadi kekeringan.
3. Curah
hujan tinggi (di atas 300 mm/bulan) berpotensi terjadi banjir dan tanah
longsor.
4. Peta
dapat digunakan sebagai gambaran awal untuk perencanaan. Faktanya agar
dilakukan evaluasi di lapangan.
Adapun kriteria yang digunakan dalam curah hujan bulanan adalah:
1. Rendah,
bila curah hujan di bawah 100 mm/bulan
2. Sedang,
bila curah hujan antara 100-300 mm/bulan
3. Tinggi,
bila curah hujan di atas 300 mm/bulan
Penentuan tipe iklim antara lain:
a. Tipe iklim Thornwaite
Thornwaite memperhatikan suatu hubungan nisbah/perbandingan antara curah hujan dan penguapan yang disebut dengan indeks kelengasan.
Keterangan :
P = Curah hujan bulanan
T = Suhu bulanan rata-rata
E = Penguapan
b. Tipe iklim Mohr
Mohr menentukan 3 kriteria kebasahan yaitu:
a. Tipe iklim Thornwaite
Thornwaite memperhatikan suatu hubungan nisbah/perbandingan antara curah hujan dan penguapan yang disebut dengan indeks kelengasan.
P = Curah hujan bulanan
T = Suhu bulanan rata-rata
E = Penguapan
b. Tipe iklim Mohr
Mohr menentukan 3 kriteria kebasahan yaitu:
·
Bulan kering jika curah hujan satu bulan kurang dari 60 mm.
·
Bulan lengas jika curah hujan satu bulan antara 60 mm sampai 100
mm
·
Bulan basah jika curah hujan satu bulan lebih dari 100 mm
Penggolongan iklim menurut Mohr ditentukan oleh banyaknya
bulan-bulan basah dan bulan-bulan kering dari rata-rata curah hujan bulanan
selama periode beberapa tahun pada umumnya 10 tahun.
c. Tipe iklim Schmidt-Ferguson
Schmidt dan Ferguson meneruskan ide Mohr. Untuk menentukan penggolongan iklim Schmidt-Ferguson menggunakan nilai perbandingan (Q) yaitu perbandingan antara rata-rata banyaknya bulan-bulan kering dan rata-rata banyaknya bulan basah, atau
Schmidt-Ferguson menggolongkan iklim di Indonesia menjadi 8
(delapan) golongan yaitu:
d. Tipe Iklim Boerema
Boerema menggolongkan tipe iklim berdasarkan pola curah hujan bulanan di suatu wilayah. Dengan mengetahui tipe iklim ini kita dapat mengetahui periode rata-rata musim hujan dan musim kemarau. Secara umum iklim di Indonesia terbagi menjadi 3 pola iklim :
1. Pola equatorial
Ditandai dengan terjadinya dua kali puncak hujan dalam setahun sehingga dikatakan dalam daerah bertipe equatorial mempunyai 2 kali musim hujan dan sekali musim kemarau.
2. Pola Monsun
Ditandai dengan perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan umumnya terjadi pada periode Oktober-Maret dan musim kemarau terjadi pada periode April-September.
3. Pola Lokal
Pola ini dipengaruhi oleh kondisi geografi dan topografi setempat serta keadaan sekitarnya. Daerah-daerah dengan pola iklim lokal umumnya mempunyai perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau. Namun waktunya berlawanan dengan pola monsun. Apabila daerah berpola monsun sedang dalam periode musim hujan maka daerah berpola monsun sedang mengalamai periode musim hujan, maka daerah dengan pola lokal sedang mengalami musim kemarau dan begitu sebaliknya.
d. Tipe Iklim Oldeman
Oldeman membuat dan menggolongkan tipe iklim di Indonesia berdasarkan pada kriteria bulan-bulan basah dan bulan-bulan kering secara berturut-turut.
c. Tipe iklim Schmidt-Ferguson
Schmidt dan Ferguson meneruskan ide Mohr. Untuk menentukan penggolongan iklim Schmidt-Ferguson menggunakan nilai perbandingan (Q) yaitu perbandingan antara rata-rata banyaknya bulan-bulan kering dan rata-rata banyaknya bulan basah, atau
Boerema menggolongkan tipe iklim berdasarkan pola curah hujan bulanan di suatu wilayah. Dengan mengetahui tipe iklim ini kita dapat mengetahui periode rata-rata musim hujan dan musim kemarau. Secara umum iklim di Indonesia terbagi menjadi 3 pola iklim :
1. Pola equatorial
Ditandai dengan terjadinya dua kali puncak hujan dalam setahun sehingga dikatakan dalam daerah bertipe equatorial mempunyai 2 kali musim hujan dan sekali musim kemarau.
Ditandai dengan perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan umumnya terjadi pada periode Oktober-Maret dan musim kemarau terjadi pada periode April-September.
Pola ini dipengaruhi oleh kondisi geografi dan topografi setempat serta keadaan sekitarnya. Daerah-daerah dengan pola iklim lokal umumnya mempunyai perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau. Namun waktunya berlawanan dengan pola monsun. Apabila daerah berpola monsun sedang dalam periode musim hujan maka daerah berpola monsun sedang mengalamai periode musim hujan, maka daerah dengan pola lokal sedang mengalami musim kemarau dan begitu sebaliknya.
Oldeman membuat dan menggolongkan tipe iklim di Indonesia berdasarkan pada kriteria bulan-bulan basah dan bulan-bulan kering secara berturut-turut.
·
Bulan basah (BB) : Bulan dengan curah hujan satu bulan > 200 mm
·
Bulan lembab (BL) : Bulan dengan curah hujan satu bulan 100-200 mm
·
Bulan kering (BK) : Bulan dengan curah hujan satu bulan < 100
mm.
Oldeman membagi tipe utama iklim menjadi 5 katagori yaitu A, B, C,
D dan E berdasarkan jumlah bulan basah secara berturut-turut.
Sedangkan subdivisi ditentukan menjadi 4 didasarkan pada jumlah
bulan kering berturut-turut.
Berdasarkan lima tipe utama dan empat subdivisi tersebut maka tipe
iklim dapat dikelompokkan menjadi 17 zona agroklimat Oldeman. Untuk menentukan
tipe iklim Oldeman menggunakan skema yang disebut skema segitiga. Kriteria tipe
iklim Oldeman sebagai berikut:
Data yang diperlukan adalah data curah hujan bulanan selama 10
tahun atau lebih yang diperoleh dari sejumlah pos hujan/stasiun yang
selanjutnya dihitung rata-ratanya.
Penjelasan lebih detil dan aplikasi klasifikasi iklim ini akan dijelaskan pada posting yang akan datang.
B. Pengecekan Neraca Klimatologi
Setelah mengetahui daerah-daerah yang rawan kering, kita mencari tahu tingkat kekeringannya dengan menggunakan salah satu analisa Ketersediaan Air Tanah (KAT), misalnya metode Neraca Air Tanah Thornwaite dan Mather.
Prosedur perhitungan neraca air dibuat berdasarkan sistem tata buku Thornwaite dan Mather dengan satuan tinggi air dalam mm.
Untuk neraca air tanaman, evapotranspirasi yang digunakan adalah evapotranspirasi tanaman (ETc) yang menunjukkan jumlah penguapan air yang terjadi pada tanaman sesuai dengan umur dan jenis tanaman selama masa pertumbuhan.
Terlebih dahulu disusun kolom isian analisis sebagai berikut :
Penjelasan lebih detil dan aplikasi klasifikasi iklim ini akan dijelaskan pada posting yang akan datang.
B. Pengecekan Neraca Klimatologi
Setelah mengetahui daerah-daerah yang rawan kering, kita mencari tahu tingkat kekeringannya dengan menggunakan salah satu analisa Ketersediaan Air Tanah (KAT), misalnya metode Neraca Air Tanah Thornwaite dan Mather.
Prosedur perhitungan neraca air dibuat berdasarkan sistem tata buku Thornwaite dan Mather dengan satuan tinggi air dalam mm.
Untuk neraca air tanaman, evapotranspirasi yang digunakan adalah evapotranspirasi tanaman (ETc) yang menunjukkan jumlah penguapan air yang terjadi pada tanaman sesuai dengan umur dan jenis tanaman selama masa pertumbuhan.
Terlebih dahulu disusun kolom isian analisis sebagai berikut :
KL = TLP =
Keterangan :
KL = Kapasitas Lapang, TLP = Titik Layu Permanen, APWL = Accumulation Potential of Water Loss, KAT= Kandungan Air Tanah, DKAT= Perubahan kandungan air tanah
Langkah-langkah penghitungan :
1. Kolom
curah hujan (CH), diisi curah hujan rata-rata bulanan.
2. Kolom
evapotranspirasi potensial (ETp) diisi nilai ETp standar (vegetasi rumput)
dengan urutan prioritas sbb: ETp lisimeter, Evaporasi Panci Kelas A dikalikan
tetapan, ETp hasil perhitungan dengan rumus Pennman, Thornwaite, Blaney Criddle
dan seterusnya.
3. Kolom CH
- ETp diisi selisih jumlah curah hujan dan evapotranspirasi potensial
4. Kolom
APWL (Akumulasi Potensial untuk penguapan), diisi jika hasil kolom CH - ETp
negatif dan kemudian diakumulasikan jika pada periode berikutnya CH - ETp
negatif.
5. Pengisian
kolom KAT dimulai dari bulan pertama terjadi APWL berdasarkan tabel Soil
Moisture retention atau rumus sebagai berikut :
k = 1.000412351 + (-1.073807306)/KL
6. Kolom
DKAT (Perubahan KAT) diisi nilai KAT dari bulan tersebut dikurangi KAT bulan
sebelumnya.
7. Kolom ETa
(Evapotranspirasi Aktual) diisi jika CH > ETp maka ETa = ETp. Pada
bulan-bulan terjadi APWL (CH <>
8. Kolom
defisit (D) diisi ETp-ETa
9. Kolom
surplus (S) diisi saat tak ada D, maka S = CH-ETp-DKAT.
Lalu disusun neraca air lahan sesuai langkah-langkah tersebut di
atas. Detil dan aplikasi dari neraca air lahan akan dijelaskan pada posting
yang akan datang.
Setelah mengetahui daerah-daerah yang rawan kering, kita perhatikan keadaan iklim global dengan melihat terjadi atau tidak El Nino dan La Nina.
C. El-Nino
El Nino adalah peristiwa di lautan berupa penyimpangan suhu laut di atas rata-ratanya di daerah Pasifik tengah dan timur. Pada saat yang bersamaan terjadi perubahan pola tekanan udara di belahan bumi selatan yang dikenal sebagai Indeks Osilasi Selatan (SOI) yaitu perbedaan tekanan di Tahiti dan Darwin. Karena peristiwanya terjadi bersamaan antara El Nino dan SOI maka dikenal dengan istilah ENSO (El Nino Southern Oscillation).
Ciri-ciri terjadinya El Nino :
Setelah mengetahui daerah-daerah yang rawan kering, kita perhatikan keadaan iklim global dengan melihat terjadi atau tidak El Nino dan La Nina.
C. El-Nino
El Nino adalah peristiwa di lautan berupa penyimpangan suhu laut di atas rata-ratanya di daerah Pasifik tengah dan timur. Pada saat yang bersamaan terjadi perubahan pola tekanan udara di belahan bumi selatan yang dikenal sebagai Indeks Osilasi Selatan (SOI) yaitu perbedaan tekanan di Tahiti dan Darwin. Karena peristiwanya terjadi bersamaan antara El Nino dan SOI maka dikenal dengan istilah ENSO (El Nino Southern Oscillation).
Ciri-ciri terjadinya El Nino :
1. Memanasnya
suhu muka laut (Sea Surface Temperature/SST) di atas rata-ratanya (penyimpangan
positif) > 1.5 °C di kawasan equator Samudera Pasifik bagian timur.
Mendinginnya suhu muka laut hingga di bawah rata-ratanya (penyimpangan negatif)
< -1,5 °C di kawasan Indonesia.
2. Perubahan
tekanan udara antara Tahiti dan Darwin (SOI) nilai negatif (< -10)
3. Melemahnya
angin pasat timur di atas perairan Samudera Pasifik hingga di bawah normalnya.
Efek dari kejadian El Nino untuk daerah Indonesia, mengakibatkan
curah hujan berkurang. Sehingga yang perlu kita waspadai bila El Nino
terjadinya pada musim kemarau dan efek terburuknya bisa terjadi kekeringan.
Bila terjadinya pada musim hujan hanya mengakibatkan curah hujannya berkurang.
Sedangkan pengertian La Nina terjadi hal sebaliknya dimana suhu muka laut di Pasifik tengah dan timur lebih rendah (penyimpangan negatif) dari rata-ratanya dan perbedaan tekanan udara antara Tahiti dan Darwin (SOI) bernilai positif. Serta suhu muka laut di kawasan Indonesia di atas rata-ratanya (penyimpangan positif).
Efek dari kejadian La Nina di Indonesia adalah bertambahnya curah hujan. Sehingga yang perlu kita waspadai bila La Nina terjadi pada musim hujan dan efek terburuknya bisa terjadi banjir.
Dengan mengetahui terjadi tidaknya El Nino, kita makin yakin tingkat kerawanan kering di suatu tempat.
D. Prakiraan Musim
BMKG setiap tahunnya pada bulan Maret menerbitkan Prakiraan Musim Kemarau dan bulan September menerbitkan Prakiraan Musim Hujan. Pada prakiraan itu diinformasikan:
Sedangkan pengertian La Nina terjadi hal sebaliknya dimana suhu muka laut di Pasifik tengah dan timur lebih rendah (penyimpangan negatif) dari rata-ratanya dan perbedaan tekanan udara antara Tahiti dan Darwin (SOI) bernilai positif. Serta suhu muka laut di kawasan Indonesia di atas rata-ratanya (penyimpangan positif).
Efek dari kejadian La Nina di Indonesia adalah bertambahnya curah hujan. Sehingga yang perlu kita waspadai bila La Nina terjadi pada musim hujan dan efek terburuknya bisa terjadi banjir.
Dengan mengetahui terjadi tidaknya El Nino, kita makin yakin tingkat kerawanan kering di suatu tempat.
D. Prakiraan Musim
BMKG setiap tahunnya pada bulan Maret menerbitkan Prakiraan Musim Kemarau dan bulan September menerbitkan Prakiraan Musim Hujan. Pada prakiraan itu diinformasikan:
1. Permulaan
musim yang menginformasikan kapan awal musim akan terjadi.
2. Perbandingan
terhadap rata-ratanya yang menginformasikan maju mundurnya awal musim.
3. Sifat
hujan yang menginformasikan berapa besar dan sifat curah hujan selama musim
tersebut.
Informasi ini dapat dipergunakan untuk mempertajam tingkat kecurigaan
kita terhadap kekeringan. Misalnya sudah terindikasi kemungkinan akan terjadi
kekeringan, selanjutnya musim kemarau yang diprakirakan terjadi lebih awal atau
kemaraunya lebih panjang. Maka ini dapat memperkuat indikasi akan terjadinya
kekeringan.E. Prakiraan Curah Hujan Bulanan
Stasiun Klimatologi Klas I dan Klas II setiap bulan membuat prakiraan curah hujan sehingga pendeteksian kekeringan dapat dipertajam lagi dengan prakiraan hujan pada bulan yang akan datang. Untuk Stasiun Klas III dan IV dapat meminta prakiraan dari Stasiun Klas I atau Klas II. Bila prakiraan curah hujan pada bulan yang akan datang lebih kecil maka dapat diprediksikan kekeringan dapat terjadi. Dan bila hal ini terjadi maka Stasiun yang menjadi koordinator dapat memberikan peringatan dini kepada user dan bagi stasiun.
Sumber :
Gusti Rusmayadi. 2002. Klimatologi Pertanian. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.
Indrawan Sani. 2006. Analisis Ketersediaan Air Tanah dan Kekeringan dalam Diklat Teknis Klimatologi dan Kualitas Udara. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta.
Kentjus Soesilo. 2007. Gawar Dini Kekeringan dalam Workshop Penguatan Kemampuan UPT BMG dalam Pelayanan Informasi MKKuG untuk Mendukung Penanggulangan Bencana Alam Gempa Bumi, Cuaca dan Iklim Tahap II. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta.